Dilema antara dua kata, lembah dan gunung!


Gunung, ia memang elok. Kita melihatnya demikian bukan? Dari posisi kita yang rendah, kita bisa dengan mudah melihatnya, takjub. Kita pun berkhayal asal, “Betapa menyenangkannya menjadi sebuah gunung. Punya ketinggian, kokoh, besar sekaligus jadi pusat perhatian oleh berjuta pasang orang.”

Tetapi tidak, ada sesuatu yang riskan andaikan kita sebuah gunung. Lihat!
Saat kita diam, lembah-lembah yang berada di bawah kontan menuduh kita angkuh! Kita disebut sebagai orang yang congkak, sombong lagi merendahkan para lembah karena ketinggian dan kekokohan kita.

Padahal, kita diam, tak menyapa, karena kita takut, kita salah menyapa. Kita juga takut, sapaan kita justru akan mengganggu mereka. Seperti ketika kita akan menyapa mereka dengan muntahan abu vulkanik. Oh, tragis! Sapaan kita justru diartikan sebagai sebuah kemudharatan. Bahkan, terang-terangan kita diberi status, “Waspada, Siaga hingga Awas! (untuk dijauhi)” Kitapun menjadi bahan pergunjingan di media massa, tiada henti.

Merupakan kesalahankah jika sapaan kita berupa muntahan abu vulkanik? Padahal hanya inilah, kita bisa menyapa mereka, dengan mengandung manfaat di kemudian hari.

Kita mencoba mencari cara lain untuk menyapa mereka. Kita berniat untuk menyapa lembah dengan longsoran tanah dari bagian kita. Oh, malang! Sapaan kita justru menjadikan bencana bagi mereka. Padahal, kita hanya berniat untuk menyatu dengan mereka.

Bagaimana ini? Padahal kita selalu berpikir, kita sama dengan mereka, sama-sama sebuah lembah. Hanya pandangan mereka yang melihat, seolah kita adalah gunung.

Oh, yah! Kita harus melakukan penyamaran! Bagaimana jika kita meletakkan kata yang biasa mengiringi gunung? Yah, kita biasa menaiki gunung. Bagaimana jika kata “naek” diketemukan dengan “lembah”, seperti halnya penyamaran yang akan kita lakukan?

Oh, tidak! Para lembah dan gunung salah mengartikan. Mereka langsung protes habis-habisan. Bahkan, kita disebut sebagai sosok yang aneh, dungu (karena pernyanaan mereka yang menyebut kita tak tahu jika lembah hanya bisa dituruni) atau bahkan kita terlalu mengada-ada (bermimpi yang tidak mungkin menjadi kenyataan).

Padahal, tidak! Kita tak bermaksud demikian. Kita juga tak pernah bermimpi untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Menaiki lembah sungguh tidak mungkin. Meski sebagian dari mereka, menaiki lembah itu adalah mungkin (jika sebelumnya menuruni lembah, lalu kita naik ke atas lagi).

Tidak! Apapun yang terjadi, lembah yang curam tak mungkin kita naiki. Meski kita harus menaiki di bagian yang masih disebut lembah, ini bukan lantas kita menaiki lembah. Kita hanya menaiki sebuah tempat yang lebih tinggi.

Lalu apa sebetulnya maksud kita? Ini tak lain karena dilema dua kata diatas, lembah dan gunung! Inilah yang menjadi masalah besar dari persangkaan para lembah dan gunung yang salah menyana. Jika kita mengenal dua kata yang bernada dan berhuruf sama, namun berarti lain, inilah yang sesungguhnya kita usung. Bernada dan (mungkin) berhuruf sama, tapi berbeda makna.

Semoga dari kisah kiasan ini, akan menjadikan kita lebih bijak lagi, kawan. Kisah kiasan diatas sudah pasti banyak kita jumpai di dunia nyata. Inilah kebanyakan manusia, termasuk saya, dan kalian semua, banyak ditipu oleh ‘penglihatan sepintas’ tanpa meninjaunya. Semoga bermanfaat.

*SEJUMPUT DARI SEGUDANG NAMA (YANG KATANYA) ANEH INI. :)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dilema antara dua kata, lembah dan gunung!"

Posting Komentar