Sukma Tahu Kapan Raganya Akan Mati

Secuil kisah yang terjadi pada tanggal 22 April 2010. Tujuan deskriptif di sini jauh dari maksud untuk iklan, adigang adigung, untuk berlagak dan show off. Tidak sama sekali. Saya hanya berusaha mengambil hikmah pelajaran di balik semua peristiwa, agar supaya dapat dijadikan suatu pengetahuan, minimal untuk diri pribadi. Bukankah tuhan selalu membuat pelajaran dalam setiap fenomena dan gejala besar maupun kecil sepanjang waktu. Seluruh yang ada (being) maupun kejadian dalam jagad raya ini selalu tergelar “ayat-ayat” sang Kausa Prima. Semua itu menjadi tugas setiap orang untuk mempelajari agar dapat menjalani hidup lebih sesuai dengan rumus-rumus yang tercantum dalam diktat tuhan. Menjadi manusia bijak dan arif, sinergis, harmonis dengan hukum alam, supaya menjadi mudah meraih kemuliaan.

Selebihnya saya ingin share kepada para pembaca yang budiman dan para sedulur NKRI semua tanpa pandang bulu maupun pilih kasih, sebagai wujud persembahan saya, serta sikap welas asih tanpa pamrih yang selalu saya coba sekuatnya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Siapa tahu kisah atau pengalaman pribadi ini ada sedikit manfaat untuk bahan perenungan kita bersama dalam memahami makna kehidupan yang sejatinya.

Roh Berpamitan

Pada 22 April 2012, waktu itu kurang lebih jam 15.00 wib saat saya bersama keluarga jalan-jalan dari Sukabumi, dengan route Cianjur, seterusnya melewati Jl Cugeunang, Cipanas, kemudian melewati Puncak Pas ke arah Ciawi Bogor, kemudian jalanan mulai menurun terus. Hari itu sepanjang jalan terjadi hujan rintik, lalu berkabut tipis di Puncak dan terasa lebih dingin dari biasanya, pelan-pelan melaju menikmati pemandangan hijau nan indah kebun teh yang agak disamarkan oleh sapuan kabut tipis. Dan sampailah pada suatu tempat, tepatnya setelah melewati tugu botol kecap pas tikungan sebelah kanan jalan arah menuju Jakarta. Pada saat kendaraan melaju pelan, tepatnya di tikungan kebun teh itu, tiba-tiba samar-samar “hadirlah” sosok wanita cantik putih bersih usianya terkesan masih kurang dari setengah abad (tampak lebih muda dari usia sebenarnya). Waktu itu sambil nyetir saya kurang konsen, sehingga lupa-lupa ingat siapa gerangan sosok (roh) wanita tersebut kok rasanya pernah melihat sebelumnya. Rasa-rasanya saya pernah mengenalnya, wajahnya tak asing bagi saya, tapi siapa namanya saya lupa. Lalu saya membangunkan istri yang sedang tertidur di samping kemudi. “…lihatlah ada (sukma) yang datang menghampiri kita! Kenalkah dengan dirinya? Isteri saya spontan menjawab,” oh..itu Ibu Ainun Habibie. Saat itu istri saya mengucapkan salam kepadanya lalu bertanya,”ada apa gerangan Ibu datang kemari? Adakah sesuatu yang urgent? Beliau menjawab,” …saya hanya ingin berpamitan denganmu nak, karena saya sudah akan pergi !

Hanya itulah dialog singkat yang terjadi di antara kami. Kebetulan isteri saya dulu pernah berdedikasi di Habibie Center Jakarta untuk program kemanusiaan. Pantas saja beliau kemari. Karena peristiwa sukma yang berpamitan (akan meninggal) biasanya terjadi kepada seseorang yang telah saling kenal sebelumnya. Diri saya tidak mengenal secara pribadi dengan beliau, tetapi isteri saya pernah mengenal dekat beliau, sehingga tak aneh bila kemudian Ibu Ainun Habibie berpamitan untuk berpindah ke dimensi kehidupan yang selanjutnya, setelah dimensi bumi ini.

Sesampainya di Jakarta, petang hari setelah kami selesai menghadiri suatu acara, kami sempat keingetan mas Kadaryono, sahabat kita yang sering singgah di gubuk ini juga. Saya sempat SMS ke mas Daryono,” …Mas, Bu Habibie kok “datang” untuk “berpamitan” ya ? Apa beliau sdg sakit parah ? Mas Daryono langsung mereply sms saya,” …Pamitan jam pinten Mas ? Sakniki malem Jumat Legi. Lalu kurang lebih pada Jam 23.00 Mas Daryono sms saya memberi kabar,”Ya…Ibu Ainun Habibi sudah dirawat di Jerman sjk 1 bulan yll, mas sabda. Karena bronkhitis kronis dan komplikasi lain.

Saat itu jam 22.00 kami bersua Mas Roy Suryo di rumah beliau Jakarta yang kebetulan barusan pindahan rumah. Saya sempat cerita ikhwal “pertemuan” dengan Ibu Ainun sewaktu melewati jalan Raya Puncak tadi sore. Dan infonya sama, Ibu Ainun sedang perawatan intensif di Jerman karena komplikasi akut. Kami semua lalu berdoa, maneges untuk jalan terbaik, nyuwun kawelasan kepada Gusti Ingkang Murbeng Gesang untuk Ibu Ainun diberikan jalan terbaik versi tuhan.

Dua Kemungkinan Belas Kasih

Pada saat menghadapi seseorang yang sedang sakit kritis, kami sungguh menyadari, tak tahu mana pilihan yang terbaik buat yang sedang sakit. Maka rasanya tak pantas jika kami dalam maneges mendikte tuhan untuk minta kesembuhan, apalagi mohon supaya lekas saja dipanggil. Walaupun harapan saya pribadi tentu saja yang terbaik menurut versi saya sebagai manusia awam, tentu mengharapkan kesembuhan beliau. Akhirnya kami kembali pada prinsip, “jadi manusia mbok ya jangan suka mendikte tuhan…kalau berdoa yang netral saja. Jika berurusan dengan kekuatan tuhan, maka posisikan kita sebagai manusia yang tak tahu apa-apa. Tak tahu apa rencana terbaik menurut versi tuhan untuk suatu peristiwa yang akan terjadi. Tuhan memang Mahabijaksana, tetapi manusia seringkali tak mampu nggayuh kawicaksananing Gusti. Tak mampu memahami kebijaksanaan tuhan. Manusia seringkali gagal dalam memahami apa “kehendak” dari tuhan, sebagai sumber kekuatan keseimbangan alam, kekuatan hukum dan rumus-rumus alam semesta. Padahal binatang, tumbuhan dan lingkungan alam pun mampu berada dalam koridor keseimbangan alam, harmonisasi dengan kekuatan keseimbangan jagad raya. Boleh dikatakan mereka semua paham betapa rumus-rumus yang ada di alam semesta ini, yang meliputi hukum sebab akibat, semuanya merupakan hukum keseimbangan alam yang tak pernah menyisakan secuil ketidakkeadilan pun. Tapi manusia sok tahu, sok pinter, sok-sok-an lainnya yang justru membuat sikapnya bertentangan hukum alam. Bagi siapapun, golongan apapun, dan agama apapun jika perilaku dan sikapnya menentang hukum alam, tentunya ia berhadapan dengan kekuatan dan kebijaksanaan tuhan alam semesta.

Maka dalam doa, hanya terucap,”duh Gusti …nyuwun kawelasan untuk beliau Ibu Ainun. Terserah tuhan, bentuk kawelasan yang mana menurut versi prerogatif tuhan. Yang jelas wujud kawelasan ada dua kemungkinan, sembuh/sehat kembali atau “pindah” ke dimensi kehidupan yang langgeng tan owah gingsir. Dan dua kemungkinan yang akan terjadi harus kita terima dengan hati yang legowo.

Setiap Sukma Tahu Kapan Raganya Mau Mati

Dari sekian kalinya mengalami peristiwa tak sengaja “dipamiti” roh yang mau meninggalkan dimensi dunia wadag, kiranya cukup bagi saya pribadi untuk mengambil benang merah, bahwa ternyata roh kita tahu kapan waktunya raga akan mati jika timingnya sudah relatif dekat. Lantas kenapa ada orang yang tak tahu manakala mau mati, dan sebagian yang lain mengetahui kapan saatnya ia akan mati. Selain ada dalam ciri-ciri fisik sejak 5 tahun sebelum seseorang mau mati, lebih dari itu, kesadaran sukma sejati dapat mengetahui lebih cepat dan tepat kapan raganya akan mati. Walau tidak sampai mengetahui kapan menit dan detik. Rasanya soal menit dan detik sudah menjadi rahasia hukum alam, rahasia kekuasaan tuhan. Kecuali hanya beberapa menit sebelum seseorang mengalami proses kematian, bisa tahu jam berapa lewat berapa menit dirinya akan mati.

Kesadaran Batin VS Dominasi Raga

Sebagian orang tidak mengetahui kapan dirinya akan mati, namun hal ini bukan berarti sukmanya juga tidak tahu. Melainkan raganya saja yang ndableg, alias mata batinnya tumpul akibat dominasi “mata ragawi” yang ada pada dirinya. Tak ada kesinambungan antara kesadaran sukmanya daya respon raga untuk menerima informasi berupa sinyal-sinyal kematian dari sang sukma. Dapat diperumpamakan setiap orang memiliki “kabel” penyambung antara raga dengan sukmanya, yang berfungsi untuk mengirimkan data informasi “rahasia gaib” dari sang sukma untuk diterima oleh raga melalui kesadaran otak kanan, lalu dicerna oleh otak kiri. Kesadaran rasa-sejati, dikirim kepada sukma sejati, lalu dikirim lagi kepada jiwa, dan diterima oleh raga. Banyak kendala menghambat proses pengiriman informasi tersebut. Di antara penyebab utama tumpulnya kesadaran ragawi atau raga tak mampu membaca sinyal-sinyal dari sang rasa-sejati dan sukma-sejati adalah sbb;

Seseorang tidak suka mengolah batin, mempertajam nurani, melatih kawaskitan. Akibatnya kesadarannya didominasi oleh kesadaran ragawi saja. Di satu sisi kekuatan batinnya tidak diberikan kemerdekaan untuk berapresiasi, dan di sisi lain kesadaran batinnya tak bisa berkembang karena telah dibelenggu oleh berbagai kekuatan koloni di antaranya ; referensi “katanya”, jarene, ceunah ceuk ceunah, konon. Hal itu membuat diri pribadi tak pernah sungguh-sungguh merasakan betapa tuhan sungguh LEBIH DARI SEKEDAR Mahapengasih-penyayang, lebih dari sekedar Mahaadil.
Mengumbar nafsu ragawi, sehingga bukannya nuruti kareping rahsa (rahsa-sejati), tetapi lebih cenderung nuruti rahsaning karep. Pribadi yang nuruti rahsaning karep/mengumbar nafsu, biasanya berkarakter temperampental, suka jalan kekerasan fisik (okol), pendek akal, mudah emosi, gampang mencaci dan omong kasar, suka merendahkan dan menghina orang lain yang beda pendapat (antitoleran), apalagi jika berhubungan dengan keyakinan. Menyukai 3G, yakni golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe. Atau 3,5 G, yakni ditambah seneng golek-golek mungsuh.
Memiliki skor tinggi dalam menghafal suatu referensi, tetapi salah menafsirkan makna tersirat/hakekat dari referensi itu. Seseorang tanpa sadar memahami suatu ajaran hanya berhenti pada kemampuan hafalan dan harfiahnya saja. Tapi lupa bahwa hafalannya harus dipraketkkan dalam kehidupan sehari-hari kepada seluruh mahluk tanpa pilih-pilih kasih. Akhirnya tipikal pribadi demikian sangat terbiasa mengukur kedalaman ilmu seseorang hanya berdasarkan banyaknya hafalan dan referensi buku yang digunakan. Ini jelas tidak keren. Apalagi saya ini, semakin banyak baca semakin banyak lupa… J
Nol besar dalam praktek suatu nilai kebaikan. Atau kebaikan yang dilakukan penuh pamrih (termasuk pamrih pahala dan takut dosa). Bukan atas dasar keikhlasan dan rasa kasih sayang tanpa batas. Sikap kasing sayang kepada tuhan, konsekuensinya harus diwujudkan dalam bentuk sikap penuh kasih sayang kepada seluruh mahlukNya tanpa pilih kasih. Soal keyakinan, beda pendapat sih wajar, tapi manusia tak perlu membunuh dan mencederai orang lain, biarkan saja tuhan Mahahakim yang menghakiminya. Jika hal ini kita terapkan bersama secara kompak dan konsisten dalam praktek kehidupan sehari-hari, maka perang berdarah di muka bumi ini akan segera berubah menjadi kedamaian dan ketentraman dunia. Saya rasa tuhan lebih menyukai ketentraman dan kedamaian daripada peperangan sekalipun si haus perang mengklaim atas nama tuhan. Karena perang sudah menjadi kegemaran si pemilik perusahaan alat-alat perang. Kalau gak ada perang produknya gak laku. Makanya, siapapun pencipta alat perang dan yang menggunakannya atas dalih apapun tentu saja termasuk sikap melawan hukum alam. Bukankah alam semesta ini terjadi oleh suatu hukum keseimbangan alam yang sedemikian harmonis, berbeda-beda tetapi saling membutuhkan dan saling melengkapi. Manusia “bermata dua” agar supaya bisa melihat kebenaran secara lebih obyektif. Agar mau melihat kebenaran dari berbagai sisi dan sudut pandang yang berbeda-beda. Tapi orang yang “bermata satu” alias dajjal, bisa digunakan sebagai kiasan bagi pribadi yang maunya hanya melihat sesuatu dari satu sisi dan satu sudut pandang saja. Orang lain yang berdiri di sisi dan sudut pandang lainnya dianggap musuh. Padahal dimensi planet bumi yang bulat maupun jagad raya ini terdapat milyaran bahkan trilyunan sisi dan sudut pandang yang berbeda-beda. Begitulah kiranya sikap yang lebih menentramkan dalam memahami Kemahaluasan Tuhan yang terasa tiada batasannya. Tapi otak kiri kita bisa saja memungkiri noumena di atas dengan menciptakan konsep ketuhanan menjadi teramat sempit yang terasa menyesakkan dada, pusing kepala, dan bertentangan dengan nurani paling dalam.

Ada orang yang tahu kapan raganya akan mati. Bukan berarti ia harus seorang yang sakti mandraguna. Tidak. Ia masih manusia yang biasa dan wajar-wajar saja, hanya menyadari jika menjalani hidup ini perlu membawa-bawa “kembang kanthil” kemanapun ia pergi. Kanthil sebagai gambaran untuk seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya selalu menerapkan pepatah,”ngelmu iku kalakone Kanthi Laku (kanthil), lekase kalawan kas, kas iku tegese nyantosani”. Senantiasa membuat sentausa (keselarasan, keseimbangan dan harmonisasi) kepada seluruh mahluk dan lingkungan alam. Dengan begitu, “kabel” penghubung antara sukma sejati dengan ragasejati akan turn on. Terjadi sinkronisasi antara tata-batin dengan tata-lahir. Tak berhenti di sini, kita masih harus mengimplementasikan apa yang diketahui sang rasa-sejati ke dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menjadikan pribadi yang mampu nuruti kareping rahsa. Maka diri kita akan mudah merasakan, mengalami, suatu noumena spiritual yang melampaui dimensi ruang dan waktu, serta mampu memanfaatkan kejernihan mata batin dalam mengupas berbagai persoalan dan peristiwa di dalam wilayah mikrokosmos dan makrokosmos.

Pada masa lampau banyak orang sakti karena mau memahami suatu ajaran kebaikan melalui sisi kesadaran hakekatnya. Sebaliknya generasi zaman sekarang cukup puas pada kesadaran otentik, harfiah, kulit, walau berakibat dinamika kesadarannya menjadi mandeg pada kesadaran ragawi. Yaah…cari amannya saja. Seperti prinsip yang diterapkan oleh pelaku bisnis yang gagal. Daripada tersandung, lebih baik “berpenghasilan” minim sekali, dan sesekali menjadi pengemis dari pada berani berspekulasi menjelajah ke dimensi spiritual, walau buahnya bisa berupa “penghasilan” berlimpah.

Sukma Sejati Sebagai Dasar Kawaskitan

Waskita, atau cermat dan awas dalam penglihatan batin. Memiliki ketepatan dan akurasi tinggi dalam membaca hahasa alam. Semua kemampuan itu tidaklah semata berdasarkan kemampuan ragawi, kemampuan otak. Kita semua mungkin sepakat memahami agama, keyakinan berikut kegaiban tak perlu adanya dominasi otak, nalar, logika, atau apalah sebutannya. Tetapi kita lupa bahwa instrumen otak yang telah mampu mensinkronkan diri dengan kesadaran sukma akan dapat menerima berbagai peristiwa gaib sebagai sesuatu yang sangat masuk akal. Jika masih dianggap mengada-ada tak masuk akal, hal itu dikarenakan otak belum mampu menerima kesadaran sukmawi.

Demikian sebaliknya, jika memahami suatu keyakinan hanya berdasarkan “katanye”, jarene, tentu saja masih akan dicerna dan dikelola oleh otak kiri secara dominan. Akibatnya terjadi stagnansi dalam kesadaran spiritualnya, bahkan yang paling parah adalah tidak sadar jika diri kita sedang tidak sadar. Karenanya, dogma yang hanya dipahami secara mentah-mentah, teksbook, harfiah tanpa adanya upaya pemahaman secara kontekstual, esensial, dan hakekat, ia cenderung membelenggu kesadaran kita. Kesadaran kita bagaikan terperangkap masuk ke dalam “kapsul” kesadaran semu. Alias kesadaran di dalam “goa”, kesadaran yang masih di dalam “tempurung”.

Kesadaran Sukma vs Kesadaran Semu

Kita sadari atau tidak, setiap orang sukmanya tak jarang melakukan aktivitas di luar raganya, bahkan dengan mudahnya mampu menembus suatu “dimensi” di mana hukum ruang dan waktu tak berlaku lagi. Aktivitas sukma tersebut tidak disertai dengan aktivitas raganya, sehingga sebagian orang hanya merasakannya bagaikan mimpi yang seolah nyata, sebagian lainnya tidak menyadari sama sekali. Sukma secara mandiri bisa melakukan aktivitas di luar fisiknya atau wadah/warangkanya, demikian pula raga dapat melakukan aktivitas di luar kendali sang sukma. Raga yang demikian ini yang kita sebut sebagai pribadi yang “nuruti rahsaning karep”, pribadi yang mengumbar nafsu. Beresiko tinggi untuk salah langkah, salah pilih, dan salah kaprah memahami dan menjalani kehidupan ini.

Seperti peristiwa roh yang “berpamitan”, sebagaimana kisah dalam peristiwa di atas merupakan suatu aktivitas sukma tanpa raga. Seringkali saya bertanya langsung secara wadag kepada seseorang yang kebetulan sukmanya barusaja melakukan aktivitas di luar raganya. Perlu belajar ! Karena hanya sedikit saja orang yang benar-benar menyadari apa saja aktivitas yang dilakukan oleh sukmanya sendiri. Dari yang sedikit itu, hanya sebagian orang saja yang sungguh bisa membedakan apakah suatu “mimpi” benar-benar merupakan pengalaman sukmawi, tanpa melibatkan raga. Atau hanya sekedar imajinasi, ilusi, dan kamuflase “alam pikiran bawah sadar” saja. Tak dapat dipungkiri banyak orang merasa dirinya pernah dan tahu suatu dimensi gaib. Tetapi apa yang diketahuinya hanyalah sesuatu yang semu, yang hanya sekedar ilusi, imajinasi, dan merupakan endapan-endapan dari dalam “alam pikiran bawah sadar”. Oleh sebab itu sangatlah bijaksana bila tidak menjadikan peristiwa mimpi sebagai suatu tolok ukur menyimulkan benaran religius. Bukanlah sesuatu yang istimewa sekaligus bukti kebenaran hakiki apabila masing-masing umat agama, pernah mengalami mimpi yang di dalamnya terdapat gambaran-gambaran atau simbol-simbol agama yang dianutnya. Hendaknya jangan lantas buru-buru menyimpulkan bahwa agama yang simbol-simbolnya masuk di dalam “alam mimpi” tersebut merupakan bukti bahwa agama yang dipeluknyalah satu-satunya yang bener.

Kadang antar sukma orang-orang yang masih hidup dapat berjumpa dalam dimensi gaib. Hanya saja masing-masing tidak menyadarinya. Adapula yang salah satu pihak dapat menyadari sementara pihak yang lain belum bisa menyadari aktivitas pertemuan antara dua sukma. Namun begitu, getaran nurani biasanya memiliki kecermatan yang tinggi. Melalui getaran nurani anda bisa merasakan suatu kedekatan batin atau tali rasa yang bisa anda rasakan begitu dekat dengan seseorang. Mungkin hal itu karena antara sukma anda dengan seseorang dimaksud pernah berjumpa dan berinteraksi di dalam dimensi “halus”. Seperti yang peristiwa batin yang terjadi pada Kang SG dengan Mas SHD beberapa minggu yang lalu (lihat komentar dalam Membedah Alam Fikiran SSJ). Seolah-olah hanya sekedar mimpi yang terasa nyata, tapi jika dikroskan pun ternyata cocok dengan keadaan yang sebenarnya. Itulah pertemuan antar sukma.

Bedakan Alam Pikiran Bawah Sadar

Sekalipun sukma melakukan banyak aktivitas namun belum tentu aktivitasnya diketahui oleh kesadaran raganya. Seolah terdapat dinding yang sangat tebal yang memisahkan antara kesadaran sukma (kesadaran rasajati) dengan kesadaran raga. Bagi yang mulai bisa merasakan kesadaran sukma jangan puas dahulu. Karena seringkali alam bawah sadar lah yang sebenarnya muncul. Misalnya, manakala anda mengalami mimpi, di mana di dalam mimpi muncul berbagai simbol-simbol dan atau mengatasnamakan agama. Misalnya anda melihat sukma kakek anda sedang melakukan sembahyang. Jelas..kehidupan sukma sudah tak butuh suatu religi lagi. Kesadaran sukma pun tak perlu lagi identitas dan simbol-simbol religi, karena sudah berada dalam alam kehidupan yang sejati, keadaan yang serba hakekat dan dalam “bahasa” yang bersifat universal. Mimpi seperti merupakan “bunga tidur” karena sudah terpolusi oleh data base yang tersimpan di “alam pikiran bawah sadar” anda sendiri. Alam bawah sadar dapat terinstal suatu gambaran, pelajaran, dan ilmu pengetahuan melalui proses proses belajar/pendidikan, pengalaman fisik inderawi/ragawi, maupun diperoleh melalui indoktrinasi.

Prasangka dan Konsep Berfikir Yang Tak Logis

Seringkali kita dengar kalimat, “jangan mendahului kehendak tuhan, itu larangan & dosa besar!” Sebagai contoh misalnya pada saat kesadaran sukma anda mampu weruh sadurunge winarah, mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (kejadian futuristik), seringkali orang lain lantas berprasangka buruk, “…wah..itu namanya dosa besar karena mendahului kehendak tuhan!

Hmmm…tuhan yang mana yang kehendaknya bisa didahului oleh mahluk? Kalimat di atas terasa sebagai kalimat sangat bodoh. Walau tidak pernah sekolah, rasanya tuhan tidaklah bodoh, apalagi sesimple pola pikir manusia seperti dalam konsep di atas. Apakah pada saat manusia sudah tahu apa yang akan terjadi, sementara tuhan malah belum tahu karena belum menyusun suatu rencana? Tentu saja tidak. Jika anda weruh sadurunge winarah, hal itu semata karena anda sebagai manusia mau mengolah dan memanfaatkan “perangkat lunak” (software) anugrah tuhan yang ada dalam diri anda. Sehingga anda bisa mengetahui atau menangkap sinyal-sinyal suatu rencana ketetapan tuhan. Jika anda tahu sesuatu akan terjadi di masa mendatang, hal itu bukanlah mendahului kehendak tuhan namanya. Dalam konsep pola pikir “mendahului kehendak tuhan” arti yang tersirat bahwa tuhan belum punya rencana tapi anda sudah menceritakan sesuatu yang akan terjadi kelak di suatu hari. Kesannya tuhan menjadi lebih bodoh dari manusia, bahkan patuh pada manusia. Maknanya menjadi sangat janggal.

Kiranya manusia tak akan bersalah bila memiliki kemampuan mengintip apa rencana tuhan (weruh sadurunge winarah). Kalau memang tuhan tak menghendaki rencananya diintip/diketahui mahluk, pastilah tuhan akan “mengunci dan menutup rapat” mata setiap manusia, agar supaya rencanaNya tetap menjadi X File yang untouchable oleh kesadaran manusia setinggi apapun juga. Logikanya, jika suatu kejadian futuristik dapat diketahui oleh manusia yang mau mengolah dan menajamkan batin, tentu bukanlah merupakan suatu larangan bagi tuhan. Dengan kata lain, tuhan membiarkan manusia mau peduli untuk mengetahui atau cuek-cuek saja akan apa yang terjadi di masa mendatang. Apa untungnya ? Tentu saja bagi orang yang sempat mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang (kejadian futuristik) dapat mempersiapkan diri menentukan langkah antisipatif, mengevaluasi dan mengoreksi diri pribadi beserta lingkungan sosialnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sukma Tahu Kapan Raganya Akan Mati"

Posting Komentar